LEMBAGA KEUANGAN INTERNASIONAL
BANK DUNIA ( WORLD BANK)
Bank
Dunia adalah sebuah lembaga keuangan global yang secara struktural berada di
bawah PBB dan diistilahkan sebagai “specialized agency”. Bank Dunia dibentuk
tahun 1944 sebagai hasil dari Konferensi Bretton Woods yang berlangsung di AS.
Konferensi itu diikuti oleh delegasi dari 44 negara, namun yang paling berperan
dalam negosiasi pembentukan Bank Dunia adalah AS dan Inggris. Tujuan awal dari
dibentuknya Bank Dunia adalah untuk mengatur keuangan dunia pasca PD II dan
membantu negara-negara korban perang untuk membangun kembali perekonomiannya.
Sejak
tahun 1960-an, pemberian pinjaman difokuskan kepada negara-negara non-Eropa
untuk membiayai proyek-proyek yang bisa menghasilkan uang, supaya negara yang
bersangkutan bisa membayar kembali hutangnya, misalnya proyek pembangunan
pelabuhan, jalan tol, atau pembangkit listrik. Era 1968-1980, pinjaman Bank
Dunia banyak dikucurkan kepada negara-negara Dunia
Ketiga, dengan tujuan ideal untuk mengentaskan kemiskinan di negara-negara
tersebut. Pada era itu, pinjaman negara-negara Dunia Ketiga kepada Bank Dunia
meningkat 20% setiap tahunnya.
Bank Dunia memiliki 5 lembaga, yaitu
- IBRD (International Bank for Reconstruction & Development), memberi pinjaman dan bantuan pembangunan bagi negara berpenghasilan menengah
- I D A (International Development Association) memberi kredit lunak dan mitra pembangunan untuk negara miskin
- I F C (International Finance Corporatation) memberi bantuan pembiayaan investasi bagi negara berkembang
- M I G A (Multilateral Invesment Guarantee Agency) memberi pinjaman, pengembangan skill dan sumber daya perlindungan kepada investor atas risiko politik
- I C S I D (International Centre for the Settlement of Investrment Dispute) memberi bantuan arbitrasi dan penyelesaian atas permasalahan investor dengan negara, dimana lembaga ini berinvestasi
Kantor Pusat Bank Dunia berkedudukan di
Washington D.C, USA disamping memiliki lebih dari 100 kantor yang
tersebar diseluruh dunia, dengan jumlah staf lebih dari 10.000 orang.
Peran Bank Dunia dalam
Imperialisme Ekonomi dan Politik Global
Rittberger
dan Zangl (2006: 172) menulis, sejak tahun 1970-an Bank Dunia mengubah
konsentrasinya karena situasi semakin meningkatnya jurang perekonomian antara
negara berkembang dan negara maju. Pada era itu, seiring dengan merdekanya
negara-negara yang semula terjajah, jumlah negara berkembang semakin meningkat.
Negara-negara berkembang menuntut distribusi kemakmuran (distribution of
welfare) yang lebih merata dan negara-negara maju memenuhi tuntutan ini dengan
cara menyuplai dana pembangunan di negara-negara berkembang.
Basis
keuangan Bank Dunia adalah modal yang diinvestasikan oleh negara anggota bank
ini yang berjumlah 186 negara. Lima pemegang saham terbesar di Bank Dunia
adalah AS, Perancis, Jerman, Inggris, dan Jepang. Kelima negara itu berhak
menempatkan masing-masing satu Direktur Eksekutif dan merekalah yang akan
memilih Presiden Bank Dunia. Secara tradisi, Presiden Bank Dunia adalah orang
AS karena AS adalah pemegang saham terbesar. Sementara itu, 181 negara
lain diwakili oleh 19 Direktur Eksekutif (satu Direktur Eksekutif akan menjadi
wakil dari beberapa negara).
Bank
Dunia berperan besar dalam membangun kembali tatanan ekonomi liberal pasca
Perang Dunia II (Rittberger dan Zangl, 2006: 41). Pembangunan kembali tatanan
ekonomi liberal itu dipimpin oleh AS dengan rancangan utama mendirikan sebuah
tatanan perdagangan dunia liberal. Untuk mencapai tujuan ini, perlu dibentuk
tatanan moneter yang berlandaskan mata uang yang bebas untuk dikonversi. Rittberger
dan Zangl (2006: 43) menulis, “Perjanjian Bretton Woods mewajibkan
negara-negara untuk menjamin kebebasan mata uang mereka untuk dikonversi dan
mempertahankan standar pertukaran yang stabil terhadap Dollar AS.”
Lembaga
yang bertugas untuk menjaga kestabilan moneter itu adalah IMF (International
Monetary Funds) dan IBRD (International Bank for Reconstruction dan
Development). IBRD inilah yang kemudian sering disebut “Bank Dunia”. Pendirian
Bank Dunia dan IMF tahun 1944 diikuti oleh pembentukan tatanan perdagangan
dunia melalui lembaga bernama GATT (General Agreement on Tariffs and Trade)
pada tahun 1947. Pada tahun 1995, GATT berevolusi menjadi WTO (World Trade
Organization).
Organisasi-organisasi
ini mulai mendorong suatu model universal dalam pembangunan ekonomi global dan
pertumbuhan melalui kredo neo-liberal, yang berfokus pada kepentingan
pertumbuhan ekonomi. Namun, yang sebenarnya merupakan eksploitasi
berbasis-paradigma pembangunan. Sebagai hasil, sistem ekonomi dunia menjadi
tidak setara. Statistik menemukan bahwa kelompok negara-negara G8 (di dunia
negara-negara terkaya) mewakili 85% dari GNP dunia dan menguasai 75% dari
perdagangan dunia. Sementara itu, jumlah orang yang hidup di bawah standar $
1/day kemiskinan terus meningkat di seluruh dunia.
Meskipun
tugas Bank Dunia adalah mengatur kestabilan moneter, namun dalam prakteknya,
Bank Dunia sangat mempengaruhi politik global karena hampir semua negara di
dunia menjadi penerima utang dari Bank Dunia. Bank Dunia dan IMF memiskinkan
negara-negara dunia ketiga melalui utang-utang yang diberikannya. Banyak negara
seperti Argentina, negara-negara di Afrika dan juga termasuk Indonesia
menanggung beban utang sampai pada level tak mampu melunasinya. Sehingga,
negara-negara tersebut terpaksa membayar cicilan pokok dan bunga dengan
mengambil utang baru. Kejadian tersebut terus terulang dan menyebabkan
ketergantungan negara-negara miskin terhadap utang.
Sejak
awal beroperasinya, Bank Dunia sudah mempengaruhi politik dalam negeri negara
yang menjadi penghutangnya. Kebijakan yang diterapkan Bank Dunia yang
mempengaruhi kebijakan politik dan ekonomi suatu negara, disebut SAP
(Structural Adjustment Program). Bila negara-negara ingin meminta tambahan
hutang, Bank Dunia memerintahkan agar negera penerima utangmelakukan “perubahan
kebijakan” (yang diatur dalam SAP). Bila negara tersebut gagal menerapkan SAP,
Bank Dunia akan memberi sanksi fiskal. Perubahan kebijakan yang diatur dalam
SAP antara lain, program pasar bebas, privatisasi, dan deregulasi (Dinasulaeman.wordpress.com/2009/12/30)
Karena
adanya SAP ini, tak dapat dipungkiri, pengaruh Bank Dunia terhadap politik dan
ekonomi dalam Negara Indonesia juga sangat besar. Utang dana segar bisa
dicairkan bila Negara tersebut menerima Program Penyesuaian Struktural (SAP).
SAP mensyaratkan pemerintah untuk melakukan perubahan kebijakan yang bentuknya,
antara lain:
1.
Swastanisasi (Privatisasi) BUMN dan lembaga-lembaga pendidikan
2.
Deregulasi dan pembukaan peluang bagi investor asing untuk memasuki semua
sektor
3.
Pengurangan subsidi kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti: beras, listrik, dan
pupuk
4.
Menaikkan tarif telepon dan pos
5.
Menaikkan harga bahan bakar (BBM)
Besarnya
jumlah utang (yang terus bertambah) membuat pemerintah juga harus terus
mengalokasikan dana APBN untuk membayar utang dan bunganya. Sebagai illustrasi,
utang luar negeri Republik Indonesia terus membumbung tinggi. Data Bank
Indonesia (BI) mencatat, sampai akhir Januari 2010, utang luar negeri mencapai
174,041 miliar dollar AS. Bila dikonversi ke dalam mata uang Rupiah dengan kurs
Rp 10.000 per dollar AS nominal utang itu hampir mencapai Rp 2.000 triliun.
Nilai
utang ini naik 17,55 persen dari periode yang sama tahun lalu. Akhir Januari
2009, nilai utang luar negeri Indonesia baru sebesar 151,457 miliar dollar AS.
“Dari sisi nominal memang naik, namun jika kita melihat dari persentase debt to
GDP ratio, angkanya terus menurun,” ungkap Senior Economic Analyst Investor
Relations Unit (IRU) Direktorat Internasional BI Elsya Chani .
Nilai
utang tersebut terdiri atas utang pemerintah sebesar 93,859 miliar dollar AS,
lalu utang bank sebesar 8,984 miliar dollar AS. Lalu, utang swasta alias
korporasi non-bank sebesar 75,199 miliar dollar AS. Sebagian besar utang
tersebut bertenor di atas satu tahun. Nilai utang yang tenornya di bawah satu
tahun hanya sebesar 25,589 miliar dollar AS.
Elsya
menuturkan, meski secara nominal nilai utang luar negeri Republik Indonesia
terus naik. Namun, nilai rasio utang terhadap GDP terus terjadi penurunan.
“Debt to GDP ratio tahun 2009 sebesar 27 persen. Sedangkan tahun 2008 masih 28
persen,” jelasnya. (Kompas.com, 16/4/2010)
Pemerintah
Indonesia di tahun ini berencana untuk membayar cicilan pokok utang luar negeri
sebesar Rp 54,136 triliun pada APBN-P 2010. Demikian pula jumlah defisit dalam
APBN-P 2010 dinaikkan dari semula 1,6% atau Rp 98,009 triliun menjadi 2,1% atau
Rp 129,816 triliun. Kenaikan defisit ini rencananya akan ditutupi lewat
pembiayaan non utang Rp 25,402 triliun dan pembiayaan utang Rp 108,344 triliun.
Pembiayaan
non utang ini salah satunya akan berasal dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran
(SILPA) di tahun 2009.Untuk pembiayaan dari utang, pemerintah berencana untuk
menarik pinjaman luar negeri sebesar Rp 70,777 triliun. Kemudian dari
penerbitan surat utang (SBN/Surat Berharga Negara) sebesar Rp 107,5 triliun
(Detikfinance.com 3/5/2010).
Komposisi
dalam anggaran belanja negara tersebut mencerminkan besarnya beban utang tidak
saja menguras sumber-sumber pendapatan negara, tetapi juga mengorbankan
kepentingan rakyat berupa pemotongan subsidi dan belanja daerah. Karena itu,
meski Bank Dunia memiliki semboyan “working for a world free of poverty”,
namun meski telah lebih dari 60 tahun beroperasi di Indonesia, angka kemiskinan
masih tetap tinggi. Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2009, ada 31,5 juta
penduduk miskin di Indonesia.
Hal
ini juga diungkapkan ekonom Rizal Ramli (2009), “Lembaga-lembaga keuangan
internasional, seperti Bank Dunia, IMF, ADB, dan sebagainya dalam memberikan
pinjaman, biasanya memesan dan menuntut UU ataupun peraturan pemerintah negara
yang menerima pinjaman, tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga di bidang
sosial. Misalnya, pinjaman sebesar 300 juta dolar AS dari ADB yang ditukar
dengan UU Privatisasi BUMN, sejalan dengan kebijakan Neoliberal. UU Migas
ditukar dengan pinjaman 400 juta dolar AS dari Bank Dunia.”
Cara
kerja Bank Dunia (dan lembaga-lembaga donor lainnya) dalam menyeret Indonesia
(dan negara-negara berkembang lain) ke dalam jebakan utang, diceritakan secara
detil oleh John Perkins dalam bukunya, “Economic Hit Men”. Perkins adalah
mantan konsultan keuangan yang bekerja pada perusahaan bernama Chas T. Main,
yaitu perusahaan konsultan teknik. Perusahaan ini memberikan konsultasi
pembangunan proyek-proyek insfrastruktur di negara-negara berkembang yang
dananya berasal dari utang kepada Bank Dunia, IMF, dll.
Tak
heran bila kemudian ekonom Joseph Stiglitz pada tahun 2002 mengkritik keras
Bank Dunia dan menyebutnya “institusi yang tidak bekerja untuk orang miskin,
lingkungan, atau bahkan stabilitas ekonomi”. Dengan demikian, menurut Stiglitz,
Bank Dunia pada prakteknya menyalahi tujuan didirikannya bank tersebut,
sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini, yaitu untuk membantu mengentaskan
kemiskinan dan menjaga kestabilan ekonomi.
SUMBER
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar