SALAH SATU TOKOH YANG MEMAJUKAN KOPERASI DI INDONESIA
Tokoh satu ini cukup dikenal masyarakat terutama dalam memajukan perkoperasian dan usaha kecil di Indonesia. Siapa lagi kalau bukan Drs H. Subiakto Tjakrawerdaya, mantan Menteri Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil yang kini duduk sebagai Sekertaris Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri). Konseptor dan pejuang koperasi simpan-pinjam ini meski tidak lagi memimpin sebuah departemen yang menjadi corong rakyat dari berbagai kebijakan pemerintah, tetap mencoba eksis dengan menekuni dunianya saat ini. Yaitu, sebagai sekretaris Yayasan Damandiri dan seabreg aktivitas lainnya. Melalui Yayasan Damandiri yang ditekuninya sejak menjadi menteri, ia mencoba mengimplementasikan gagasan-gagasannya agar rakyat kecil dapat membangun usahanya dengan mendapat kredit mudah dan murah. Gagasan yang tidak bisa direalisasikan oleh yayasan karena harus dilakukan dalam skope lebih luas, ia coba tuangkan dalam bentuk konsep-konsep melalui sidang-sidang MPR dan sebagian besar telah menjadi rekomendasi kepada presiden. Apa kiat dari semua keberhasilan yang telah diraihnya selama ini? “Kuncinya kerja keras dan cerdas serta percaya diri. Kemauan kerja saya keras sekali. Etos kerja saya adalah untuk menghasilkan yang terbaik,” tandas pria berbadan tinggi besar yang tetap smart di usia yang terbilang memasuki usia senja. Subiakto memang dikenal sebagai lelaki yang memiliki etos kerja cukup tinggi. Latar belakang keluarganya yang agak birokrat, membuat bungsu dari empat bersaudara ini seolah berpacu dengan waktu agar bisa menghasilkan yang terbaik. Komitmennya yang tinggi dalam upaya memajukan sektor ekonomi rakyat kecil begitu nyata. Meski tak lagi menjabat sebagai Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Setelah purna bakti pada Kabinet Pembangunan VI, ia tetap konsisten di dunianya yaitu bagaimana menciptakan koperasi tidak sekadar alat tapi sebagai wadah kerja sama ekonomi yang efisien untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. “Kalau kita ingin kembali sejahtera, koperasi Indonesia harus bangkit sekarang juga. Kalau tidak, koperasi tidak akan bangkit lagi selamanya, dan rakyat banyak tidak akan sejahtera! Its now, or never!!“ cetus mantan anggota MPR ini berapi-api. Sampai menjelang masa pensiun pun, bapak tiga anak dari buah perkawinannya dengan Siti Milangoni ini masih asyik berkutat dengan buku dan beragam penelitian agar dapat melahirkan konsep-konsep pembangunan nasional yang bisa diterapkan di masa krisis ini. “Alhamdulilah, ada kerjaan di sini (Yayasan Damandiri) yang sesuai dengan komitmen saya. Sebetulnya saya sudah happy menikmati masa pensiun, tapi belum lama ini ada gerakan koperasi yang meminta saya untuk turut memperjuangkan aspirasi mereka. Karena jauh dari lubuk hati saya juga ingin memasuki masa pensiun dengan tenang dan bahagia melihat koperasi Indonesia memasuki babak recovery dan mulai berkembang lagi. Oleh karena itu tawaran itu saya terima,” ujar lelaki yang pada tanggal 30 Juli nanti tepat berusia 60 tahun saat ditemui Majalah GEMARI di ruang kerjanya di kantor Yayasan Damandiri, Jakarta, beberapa waktu lalu. Obsesi mantan Menteri Koperasi untuk menjadikan koperasi Indonesia bangkit kembali ini memang layak diperhitungkan. Hanya sedikit tokoh Indonesia yang berjuang dari nol untuk memajukan koperasi yang dahulu sering disebut sebagai soko guru. Karena nyatanya saat ini banyak koperasi-koperasi kecil tumbuh namun kemudian hanya tinggal papan nama. “Zaman saya dulu, koperasi-koperasi kecil saya gabungkan. Kenapa? Memang sesuai aturan undang-undang koperasi di Indonesia bisa hanya beranggotakan 20 orang, tapi 20 orang di Indonesia itu sebagian besar rakyat sangat miskin. Mungkin di luar negeri tanahnya 100 hektar per orang bisa efisien, tapi di Indonesia tiap orang paling punya tanah setengah hektar atau satu ekor sapi. Lalu, bagaimana bisa efisien? Makanya jumlah anggota koperasi di Indonesia harus besar, minimal 1000 sampai 2000 orang. Tapi pada zaman Pak Adi Sasono koperasi kecil itu dibuka kembali,” papar Dewan Penasehat Induk Koperasi Pondok Pesantren dan Induk Koperasi Sirkah Muawanah. Peraih Penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana tahun 1999 ini, mengawali karir sebagai Menteri Koperasi memang murni dari bawah, sehingga dia tahu persis apa yang harus dilakukannya untuk memajukan koperasi di Indonesia, ditambah latar belakangnya sebagai pengusaha. Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Indonesia, Jakarta, tahun 1972 ini boleh dibilang memasuki dunia usaha dengan begitu mulus. Selesai menamatkan kuliah di UKI, ia langsung mendapat tawaran membangun perusahaan bersama teman-temannya. Meski hanya disebut “bermodal dengkul”, usaha yang dijalaninya itu terbilang sukses. Perusahaan pertama yang digelutinya adalah PT Parkir Jaya. Sebagai salah satu direktur di perusahaan ini, ia mencoba belajar mengorganizer parkir yang semrawut waktu itu menjadi lebih tertib. Tempat perparkiran yang waktu itu banyak dikuasai oleh preman, berkat andil perusahaannya akhirnya bisa diambil alih pemda DKI Jakarta. Kemudian ia beralih pekerjaan sebagai professional organizer dan disebuah perusahaan periklanan dia mulai membangun perusahaan sendiri sampai sekarang. Setelah itu barulah ia memasuki pemerintahan. Dimulai dari jabatan Staf Ahli Menteri Muda Urusan Koperasi pada tahun 1979, kemudian menjadi Kepala Biro Perencanaan di Departemen Koperasi pada tahun 1983 dan tahun 1987 diangkat menjadi Direktur Jenderal Bina Usaha Koperasi di Departemen Koperasi. Pada tahun 1993 – 1998, Subiakto terpilih menjadi Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Kabinet Pembangunan VII. Ketua Dewan Penasehat Lembaga Perekonomian Nahdhatul Ulama tahun 1994 – 1999 ini juga telah menjadi anggota MPR sejak 1987 hingga sekarang. Kemiskinan struktural Perhatian pemerintah terhadap kemajuan koperasi dan Usaha Kecil menengah (UKM) saat ini dinilai Subiakto sudah cukup baik. Adanya pemberian modal bagi petani, peternak, usaha kecil dan nelayan juga merupakan langkah tepat. Tapi bagi lelaki yang sudah malang melintang di dunia koperasi dan UKM, upaya tersebut saja tidak cukup. Bantuan modal yang diberikan pemerintah itu baru langkah-langkah kecil dari langkah-langkah besar yang perlu segera dilaksanakan. Karena sesungguhnya, pengusaha-pengusaha kecil ini dalam keadaan krisis di mana aset yang dimiliki sangat terbatas ditambah persaingan global yang makin keras “Dulu, petani nggak usah pakai jaminan. Jaminannya cukup pemerintah. Lha sekarang lagi krisis kok diminta jaminan. Ya, dari mana petani beri jaminan. Ini berat sekali bagi rakyat kecil. Kemudian bunga, kalau dulu bisa 12 % kenapa sekarang nggak bisa? Sekarang ini kalau bisa minimal 9% untuk kegiatan-kegiatan yang poduktif. Kalau bidang perdagangan bunga 12 – 15 persen tidak masalah. Tapi kalau kegiatan politis seperti menanam padi, menanam kedelai, pelihara sapi, kalau bisa berikan bunga 9 – 12% karena sangat membantu.” Khususnya di Indonesia kemiskinan yang terjadi adalah kemiskinan struktural, kemiskinan yang lebih banyak disebabkan karena tidak dimilikinya aset ekonomi yang layak. Seperti tanah di bawah setengah hektar, ternak seperti sapi hanya satu atau dua ekor yang sebenarnya tidak layak secara ekonomi. Apalagi sekarang kita sedang menghadapi persaingan globalisasi. Cara mengatasinya, yang kecil-kecil ekonominya harus bekerja sama untuk bisa disebut layak secara ekonomi dan berdaya saing. Kerja sama ekonomi yang tepat untuk usaha kecil-kecil itu adalah koperasi. Apakah koperasi relevan dengan globalisasi? “Makin relevan, terutama di Indonesia. Karena petani kita di pedesaan dan nelayan aset ekonominya sangat kecil. Jadi harus kerja sama. Jadi, koperasi merupakan keharusan di Indonesia bukan sekedar alernatif,“ tegasnya seraya menambahkan, “walau koperasi itu sesungguhnya hanya sarana atau alat bagi pengusaha kecil, petani, nelayan, peternak tetapi di Indonesia ini khususnya karena kemiskinan struktural tadi, koperasi menjadi bukan sekedar alat tapi bagian dari tujuan, bahkan menjadi keharusan karena harus menyatu dengan petani.” Peluang pasar Pada saat krisis ekonomi, sektor agroindustri dinilai sebagai sektor yang menjadi tumpuan masyarakat. Tetapi, akibat krisis, daya saing perekonomian Indonesia juga turun drastis di mana menurut data World Economic Forum Index, daya saing Indonesia menempati urutan ke 60 dari 80 negara, jauh di bawah Malaysia dan Thailand. Ironisnya lagi, jumlah pengangguran di Indonesia menurut data Bappenas mengalami kenaikan cukup besar dari jumlah 6 juta pada 1999, naik menjadi 10 juta pada 2003 dan tahun 2004 ini diperkirakan akan bertambah menjadi 12 juta orang pengangguran. Oleh karena itu untuk memperbaiki situasi yang ada, pemberian modal pada para pelaku usaha ekonomi kecil harus dibarengi dengan adanya peluang pasar. Dalam hal ini, pemerintah harusnya menjadikan peluang usaha sebagai kebijakan utama. Dari 36.816.406 pengusaha di Indonesia pada tahun 1998, sebanyak 99.85% adalah pengusaha kecil dan sebagian besar bergerak di sektor pertanian (62,73%). Sementara itu, peluang UKM untuk memperoleh peluang pasar masih kecil. “Bagaimana mereka bisa mendapat peluang besar jika menanam padi saja misalnya, peluangnya kecil karena harganya tidak bagus dan kalah bersaing beras impor,” ungkapnya. Tiga gerakan nasional Menurut Subiakto, untuk menciptakan peluang pasar ini perlu diikuti dengan gerakan cinta produk dalam negeri. Artinya, setiap orang wajib memakan atau menggunakan produk sendiri, tidak boleh menggunakan atau memakan produk impor. “Pokoknya, semua orang jangan makan buah impor, beras, daging, meski tidak enak makan beras sendiri, telan saja. Intinya, harus ada pengorbanan nasional yang semua itu harus dicontohkan oleh para kalangan atas,“ ujar Subiakto “Kalau semua itu menjadi gerakan, tercipta peluang untuk petani, peternak, nelayan dan UKM. Umpamanya daging produksi dalam negeri, meski dagingnya terasa alot (kenyal) biar saja yang penting sapi Indonesia. Apalagi sekarang ada sapi gila, seharusnya itu diikuti segera dengan progam besar-besaran untuk sapi potong. Nah, peluang itu sebenarnya ada dan peluang ini akan membuka kesempatan lapangan kerja buat yang pengangguran maupun yang sudah bekerja mempunyai peluang untuk mengembangkan lebih lanjut.” Gerakan nasional lainnya adalah adanya gerakan efisiensi nasional. Karena indeks daya saing kita paling rendah, gerakan efisiensi nasonal ini bisa menjadi etos kerja. Penayangan acara–acara di televisi harus diubah dan diisi dengan acara hiburan yang bisa menumbuhkan dan mendorong semangat etos kerja. “Kalau kita selalu disuguhkan dengan tontonan tidak bermutu, bangsa ini menjadi lembek tidak punya etos kerja yg tinggi. Karena kita sekarang lagi krisis harus kerja keras, kreatif, membangun dan menggali potensi alam,” ucap lelaki yang memiliki slogan ke depan, “kalau dulu merdeka atau mati, sekarang efisien atau mati.” Selain itu, gerakan disiplin nasional juga harus terus dilakukan. Ekonomi kita bisa efisien karena tidak ada dikorupsi, mark up dan semua taat pada aturan. Dengan adanya disiplin nasional, jumlah pelaku KKN (kolusi, korupsi, nepotisme) akan berkurang dan turut mempengaruhi efisiensi nasional. “Apabila ketiga gerakan nasional itu dilakukan secara serempak, terutama dicontohkan oleh para pembesar negara, maka situasi ekonomi negara kita diharapkan bisa pulih kembali dan koperasi maupun UKM di Indonesia bisa berkembang lebih baik,” ucapnya yakin. RIS Biodata Nama : H Subiakto Tjakrawerdaya, SE Tempat/Tgl Lahir : Cilacap, 30 Juli 1944 Nama Istri : Siti Milangoni Anak : Tiga Orang Pekerjaan : Sekertaris Yayasan Dana Sejahtera Mandiri Bintang Penghargaan : Bintang Mahaputra Adi Pradana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar